Orang-orang memanggilnya Pipil, Mbah Pipil. Wanita tua yang entah tak tau dimana keluarganya. Dia tinggal seorang diri, rumahnya di sebelah timur pemakaman umum. Melihat keadaan rumahnya, seolah mengelus dada. Bagaimana tidak, rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu dan kayu sudah mulai lapuk. Jika hujan turun, air pasti masuk kedalam rumah yang beralas tanah itu. Untuk mencari sesuap nasi, dia rela memunguti sisa-sisa padi di sawah, mengumpulkan buah melinjo yang berjatuhan dan menjadi buruh cuci yang hanya dibayar sekitar empat ribu rupiah. Terkadang anak-anak kecil di desa mengolok-olok dirinya, karena dia sering berbicara sendiri seperti orang yang tidak waras.
ini bukan foto mbah Pipil, tetapi diambil melalui google dari blog ini
Wajah keriputnya tersenyum ketika aku menyapanya, "tindak pundi , mbah?" (mau kemana, nek?) seolah dia berpikir masih ada orang yang memperhatikan dirinya. Lalu, dia menjawab " arep golek linjo, le!" (mau mencari buah melinjo, nak!)
Dalam benakku, aku iba melihat dirinya. Ntah siapa yang akan merawat dirinya kelak saat fisik sudah tak mampu menyangga dirinya. Untuk berjalan pun dia sudah tertunduk-tunduk... Semoga saja nanti masih ada yang mengurus dirinya. Mbah Pipil, wanita tua yang tinggal di desaku.